Sabtu, 31 Desember 2016

31 Desember 2003
Hari itu, rasanya aku tak benar-benar berada dalam jiwaku. Mendung seolah menghampiriku dan menghiasi sisa hariku sepanjang waktu itu. Ketika kulihat berbagai alat besar, selang panjang, kabel-kabel menjuntai, dan badannya terasa “anyep” hangat tidak dingin pun tidak. Ketika matanya enggan membuka, tangannya tak lagi merespon saat aku memegangnya, air mata sisa semalam masih menggantung di ujung pelupuk matanya.

“Allah... aku tak kuasa melihatnya, buat keajaiban bangunkan dia dari tidurnya. Buat ia kembali tertawa renyah seperti semalam saat aku makan malam bersamanya”.

Aku memutuskan keluar ruangan dengan banyak suara detak jantung bayangan bahkan khayalan. Rasanya tubuh ini lelah, gontai tak ingin lagi melihat dunia. Jangankan untuk mengisi perut meski cacing didalamnya menggeliat berkata “aku lapar!”, minum pun rasanya tak tertelan. Sungguh hari itu rasanya aku sendiri tak percaya akan merasa di titik ini.

Aku memutuskan pulang ke rumah siang itu. Berharap saat pulang nanti aku sudah mendengar bahwa lelakiku terbangun dan memanggil namaku. Lelakiku saat itu semalam memelukku, bercanda bersama meskipun makanan masuk ke dalam mulutnya penuh, merajut mimpi bahwa malam tahun baru beliau akan kembali pulang dan kembali menemani malamku.

Seketika lenyap semua mimpinya, seketika hanya jadi dongeng bahkan cerita biasa saat tetiba tubuhnya gemetar, tak terkontrol di bawah sadar meski telah dijeksi penenang, bahkan lidahnya mulai kelu saat lelaki tertuaku menyelesaikan tuntunannya membaca syahadat suci penyejuk kalbu.

Aku tertidur panjang sepanjang siang, hingga kudengar suara riuh di ruang tamu. Lelaki tertuanya membereskan meja dan bangku. Aku limbung, tak habis pikir kenapa tak hanya hati dan jiwaku yang berantakan, kenapa semua orang juga memulai perlahan membereskan semua perabot rumahku, ada apakah gerangan?

“Gantilah baju Nak, Ayahmu akan segera pulang”.

Entah apa yang ada di benakku saat itu, yang kutangkap saat itu benar bahwa lelakiku yang kutunggu di ruang terseram sepanjang hidupku yakni ruang ICU akan segera pulang, menemani malam pergantian tahun baru, dan bahkan takkan lagi absen menemani tidurku. Tak ada curiga dalam diri ini, yang ada hanya spontanitas aku mengucap syukur alhamdulillah, Allah benar-benar mengijabah doaku.

Aku pun bergegas mengganti pakaianku tentu saja setelah dipilihkan oleh bulekku pakaian putih sopan menandakan keharuan. Selesainya, daku terdiam menatap sekitar, ada yang menjahit bunga dengan benang, ibu-ibu berdatangan mengenakan kerudungan, baskom-bskom disediakan di sudut ruangan, dan depan rumahku persis tengah dipasangi tenda yang tak megah namun cukup untuk meneduhkan depan rumah.

Seketika itu pula kudengar kumandang pengumuman berita duka cita bahwa lelakiku telah meninggalkan aku dan keluargaku selamanya. sontak aku terperanjat mendengarnya. Bagaimana bisa, lelakiku diberitakan dalam pengumuman itu padahal dia akan pulang karena kesehatannya menunjukkan kebaikan begitu penjelasan lelaki tertuanya saat aku tadi terbangun. Aku bingung, aku ingin marah tapi tak bisa.

Perlahan rumahku ramai, tetanggaku sibuk mengusap kepala dan memelukku yang masih terduduk bingung linglung. Teman-teman mulai banyak berdatangan, tak banyak bicara hanya memelukku disana yang lagi-lagi masih terduduk mematung. Lag-lagi logikaku masih tak bisa berjalan menyadari semua keadaan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa lelakiku benar-benar akan pulang selamanya, pulang ke pengharibaan Penciptanya. Meski sudah datang pula serangkaian bunga tanda duka cita di depan rumah.

Aku berdiri dari duduk mematungku, seperti ada yang menarik lenganku untuk bangkit meski aku sendiri masih tetap linglung tak ingin terbangun. Suara menakutkan dari sirine ambulans melengking-lengking rasanya memekakan telinga. Mobil putih bertuliskan “MOBIL JENAZAH” tepat memakirkannya jelas di depan mataku.

Setengah tabung putih besar diturunkannya dari mobil itu seraya diikuti kedua lelaki tertuaku menggandeng lengan wanitaku. Lalu nalarku mulai membisikkan, “Lelakimu pulang Ren. Pulang untuk selamanya dan bukan pulang ke pelukanmu, tapi pulang ke pelukanNya!”.

Allah...

Kiamat sudah dalam hidupku... Aku berlari hendak membuka tabung itu, ingin kubuktikan bahwa apa yang dikatakan nuraniku tidak lah benar. Meronta, meraung, berteriak, bahkan bersikap kalap benar-benar terjadi padaku hari itu. Banyaknya yang menghadang, memelukku, bahkan menggenggam erat tanganku pun tak kuasa membendung amukan dalam diriku. Entah apa yang membuat tubuh perempuan kurus 11 tahun saat itu, begitu kuat bahkan tak terbendung dari banyaknya genggaman dan cengkraman yang memegangiku.

Aku pun seketika jatuh tersungkur saat tabung itu terbuka dan memang wajah lelakiku yang ada di dalamnya. Tak sadar, tetiba aku sudah berada di ruang tengah dengan suara tahlil dan gema Yaasiin yang riuh rendah terdengar dalam rumah.

Kupandangi dari jauh meski lemas masih kurasa, meski hati masih tak terima, ternyata wajah lelakiku benar-benar sudah senyum dalam damai menemui penciptaNya. Ibu dan lelaki tertuaku menyambutku dalam peluknya, mengatakan semua akan baik saja. Lelakiku hanya pergi untuk sementara dan diriku masih tetap akan ditemani keluarga yang masih tersisa. Belum sampai menetes air mataku, badanku kembali terjatuh di sebelahnya dan lagi saat terbangun suara tahlil pengantar tidur yang biasa lelakiku bacakan saat malam menjelang, kini berbalik disuarakan untuk mengantar tidurnya dalam ketenangan.

Kudekati jasadnya, kupandangi lambat-lambat wajahnya, kuperhatikan sekujur tubuhnya, hingga lirihku berdoa, “Bangunlah Pah... Ayoooo bangun, jika kau bangun akan ku peluk erat engkau tak kulepaskan, akan kubuat riuhan canda tawa tak terhabiskan, akan kubuat bangga atas prestasiku bagimu tak terelakkan. Bangunlah Pah... Kau sudah dirumah!!!”.

Air mataku menetes kembali diikuti kejatuhan lunglai badanku. Lagi-lagi tubuh kurusku saat itu ditarik menuju ruang tengah menjauhinya guna menenangkan dan menyadarkan psikisku dari berita kelabu. Saat terbangun lagi, guru mengajiku menjelaskan lelakiku benarlah sudah pulang, namun perlu keikhlasan dan kesabaran tak terkira dalam diriku agar ia benar-benar bisa pulang dengan nyaman menuju rumah sebenar-benarnya rumah bagi seorang hamba. Rumah yang kelak nantinya wajib kau perindah melalu untaian doa, shalat sunah dan rangkaian amal jariyah. Rumah yang nantinya bisa kau bikin mewah seinginmu dengan sejuta pahala.

Ketika kembali kudekati jasadnya dengan tak lupa di kanan kiriku bahkan belakang badanku dijaga ketat oleh kerabat saudaraku takut-takut aku kembali lagi terjatuh. Kala itu kukuatkan hati, kutahan air mata, ku tegapkan kaki berpijak, dan kudekati bibirku mendarat tepat di  dahinya. Kukecup sekuat cinta yang ada dalam dada, kurasakan dinggin yang tak biasa dari dahinya, dan kuucap janji bahwa, 

“Aku akan menjadi seperti kau pinta Pah. Pulanglah dengan tenang ke singgasanaNya, pulanglah dengan damai kembali ke sisiNya. Aku akan kuat dan aku akan berusaha selalu ikhlas karena ini takdir terbaikNya. Pulanglah... Akan kuusahakan memewahkan rumah kita dlaam SurgaNya kelak...”.

Allumaghfirlahu warhamhu wa’afi i wa’fuanhu...

Dia lelakiku, satu-satunya lelakiku saat itu dan hingga kini. Ketika 13 tahun sudah hanya bisa kupeluk bingkai fotonya, kupandangi lekat wajahnya dalam pigura, dan kuusap-usap nisannya. 

Lelakiku yang tak pernah mengeluh meski terkadang kejamnya ibu kota sungguh membuatnya lelah bahkan terlalu banyak dikeluarkan dari tubuhnya keringat berpeluh-peluh

Lelaki yang tak pernah membiarkan anak gadis kesayangannya takut, anak gadis kesayangannya jatuh bahkan diliputi berbagai rasa cemas apapun bentuknya itu

Lelaki yang tak pernah bosan menjawab setiap pertanyaan konyol yang terlontar tak udah-udah dari mulut kecilku

Lelaki yang tak pernah bosan meminta hadiah peluk dan cium sepulangnya bekerja mencari dan mengumpulkan kehidupan yang indah bagi belahan jiwanya dan juga buah hatinya

Lelaki yang bahkan tak pernah kulihat marah meski berkali-kali ada saja ulah yang kubuat secara jelas dan nyata di depan matanya

Lelaki yang tak pernah absen melantunkan doa dan membacakan ayat suci penenang jiwa sebelum waktu tidurku tiba

Dan lelaki dengan segala kekurangan dan kelebihannya selalu membuat hidupku penuh warna bahkan sampai detik ingin kuakhiri tulisan singkat ini tentangnya, tak sanggup mewakili penggambaran secara nyata sepeti apa dirinya

Dia lelakiku saat ini, kemarin, esok bahkan saat aku mati nanti


Dia lah Pak’e ku, sang lelaki yang kuceritakan saat hari kelabu 13 tahun lalu

Foto ini diambil 25 hari sebelum Pak'e pergi
12 hari sebelum Pak'e harus berjuang melawan Arterosklerosisnya
Wisuda terakhir yang didatanginya

Rabu, 21 Desember 2016



SELAMAT HARI IBU MAMA...

Selamat hari ibu Mama kesayangan...
Terima kasih untuk semua doa dan harap yang selalu kau panjatkan
Terima kasih untuk semua peluh yang kau jatuhkan tanpa ada rasa mengeluh
Terima kasih untuk selalu kuat saat beban hidup rasanya mencekat
Terima kasih untuk selalu tegar saat langkah hidup ini mulai gentar

Maaf untuk selalu membuatmu was-was tak karuan
Maaf untuk beberapa mimpi dan pengharapanmu padaku belum sanggup kuwujudkan
Maaf untuk letih, jenuh bahkan penat yang selalu kau rasakan
Maaf untuk tanggung jawab atas diri ini masi menjadikan dirimu sebagai tumpuan

Ketika mimpi menetapkan karir di dunia pendidikan kutinggalkan
Dan memilih untuk menempuh jalur peraduan sendiri tanpa ikatan
Ketika hingga kini belum ada yang datang menemuimu menanyakan
Malah diriku sibuk untuk hal  yang tak karuan akan masa depan
Maafkan atas semua kekecewaan, ketakutan, bahkan pengharapanmu yang ku sia-siakan

Semoga Allah memberimu kemudahan, kelancaran, kesehatan, umur panjang juga keselamatan
Saat kau berkunjung ke kota suciNya sebagai aplikasi janjiku setelah mendapat gelar pendidikan
Agar 2 bulan ke depan semua janji mampu kutunaikan secara perlahan terwujudkan
Semoga Allah senantiasa meluaskan kesabaran dan keikhlasan juga padamu

Agar hidupmu selalu indah meski segala persoalan bergulir pergi seiring dengan waktu

Selamat hari Ibu Mamaaaaa..... 😍😘😘