31 Desember 2003
Hari itu, rasanya aku tak
benar-benar berada dalam jiwaku. Mendung seolah menghampiriku dan menghiasi
sisa hariku sepanjang waktu itu. Ketika kulihat berbagai alat besar, selang
panjang, kabel-kabel menjuntai, dan badannya terasa “anyep” hangat tidak dingin pun tidak. Ketika matanya enggan
membuka, tangannya tak lagi merespon saat aku memegangnya, air mata sisa
semalam masih menggantung di ujung pelupuk matanya.
“Allah... aku tak kuasa melihatnya, buat keajaiban bangunkan dia dari
tidurnya. Buat ia kembali tertawa renyah seperti semalam saat aku makan malam
bersamanya”.
Aku memutuskan keluar ruangan
dengan banyak suara detak jantung bayangan bahkan khayalan. Rasanya tubuh ini
lelah, gontai tak ingin lagi melihat dunia. Jangankan untuk mengisi perut meski
cacing didalamnya menggeliat berkata “aku
lapar!”, minum pun rasanya tak tertelan. Sungguh hari itu rasanya aku sendiri tak percaya akan merasa di titik
ini.
Aku memutuskan pulang ke rumah
siang itu. Berharap saat pulang nanti aku sudah mendengar bahwa lelakiku
terbangun dan memanggil namaku. Lelakiku saat itu semalam memelukku, bercanda
bersama meskipun makanan masuk ke dalam mulutnya penuh, merajut mimpi bahwa
malam tahun baru beliau akan kembali pulang dan kembali menemani malamku.
Seketika lenyap semua mimpinya,
seketika hanya jadi dongeng bahkan cerita biasa saat tetiba tubuhnya gemetar,
tak terkontrol di bawah sadar meski telah dijeksi penenang, bahkan lidahnya
mulai kelu saat lelaki tertuaku menyelesaikan tuntunannya membaca syahadat suci
penyejuk kalbu.
Aku tertidur panjang sepanjang
siang, hingga kudengar suara riuh di ruang tamu. Lelaki tertuanya membereskan
meja dan bangku. Aku limbung, tak habis pikir kenapa tak hanya hati dan jiwaku
yang berantakan, kenapa semua orang juga memulai perlahan membereskan semua
perabot rumahku, ada apakah gerangan?
“Gantilah baju Nak, Ayahmu akan segera pulang”.
Entah apa yang ada di benakku
saat itu, yang kutangkap saat itu benar bahwa lelakiku yang kutunggu di ruang
terseram sepanjang hidupku yakni ruang ICU akan segera pulang, menemani malam
pergantian tahun baru, dan bahkan takkan lagi absen menemani tidurku. Tak ada
curiga dalam diri ini, yang ada hanya spontanitas aku mengucap syukur
alhamdulillah, Allah benar-benar mengijabah doaku.
Aku pun bergegas mengganti
pakaianku tentu saja setelah dipilihkan oleh bulekku pakaian putih sopan
menandakan keharuan. Selesainya, daku
terdiam menatap sekitar, ada yang menjahit bunga dengan benang, ibu-ibu
berdatangan mengenakan kerudungan, baskom-bskom disediakan di sudut ruangan,
dan depan rumahku persis tengah dipasangi tenda yang tak megah namun cukup
untuk meneduhkan depan rumah.
Seketika itu pula kudengar
kumandang pengumuman berita duka cita bahwa lelakiku telah meninggalkan aku dan
keluargaku selamanya. sontak aku terperanjat mendengarnya. Bagaimana bisa,
lelakiku diberitakan dalam pengumuman itu padahal dia akan pulang karena
kesehatannya menunjukkan kebaikan begitu penjelasan lelaki tertuanya saat aku
tadi terbangun. Aku bingung, aku ingin marah tapi tak bisa.
Perlahan rumahku ramai,
tetanggaku sibuk mengusap kepala dan memelukku yang masih terduduk bingung
linglung. Teman-teman mulai banyak berdatangan, tak banyak bicara hanya
memelukku disana yang lagi-lagi masih terduduk mematung. Lag-lagi logikaku masih
tak bisa berjalan menyadari semua keadaan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa lelakiku benar-benar akan pulang selamanya,
pulang ke pengharibaan Penciptanya. Meski sudah datang pula serangkaian bunga
tanda duka cita di depan rumah.
Aku berdiri dari duduk
mematungku, seperti ada yang menarik lenganku untuk bangkit meski aku sendiri
masih tetap linglung tak ingin terbangun. Suara menakutkan dari sirine ambulans
melengking-lengking rasanya memekakan telinga. Mobil putih bertuliskan “MOBIL JENAZAH” tepat memakirkannya
jelas di depan mataku.
Setengah tabung putih besar
diturunkannya dari mobil itu seraya diikuti kedua lelaki tertuaku menggandeng
lengan wanitaku. Lalu nalarku mulai membisikkan, “Lelakimu pulang Ren. Pulang untuk selamanya dan bukan pulang ke pelukanmu,
tapi pulang ke pelukanNya!”.
Allah...
Kiamat sudah dalam hidupku... Aku
berlari hendak membuka tabung itu, ingin kubuktikan bahwa apa yang dikatakan
nuraniku tidak lah benar. Meronta, meraung, berteriak, bahkan bersikap kalap
benar-benar terjadi padaku hari itu. Banyaknya yang menghadang, memelukku,
bahkan menggenggam erat tanganku pun tak kuasa membendung amukan dalam diriku.
Entah apa yang membuat tubuh perempuan kurus 11 tahun saat itu, begitu kuat
bahkan tak terbendung dari banyaknya genggaman dan cengkraman yang memegangiku.
Aku pun seketika jatuh tersungkur
saat tabung itu terbuka dan memang wajah lelakiku yang ada di dalamnya. Tak
sadar, tetiba aku sudah berada di ruang tengah dengan suara tahlil dan gema Yaasiin
yang riuh rendah terdengar dalam rumah.
Kupandangi dari jauh meski lemas
masih kurasa, meski hati masih tak terima, ternyata wajah lelakiku benar-benar
sudah senyum dalam damai menemui penciptaNya. Ibu dan lelaki tertuaku
menyambutku dalam peluknya, mengatakan
semua akan baik saja. Lelakiku hanya pergi untuk sementara dan diriku masih
tetap akan ditemani keluarga yang masih tersisa. Belum sampai menetes air
mataku, badanku kembali terjatuh di sebelahnya dan lagi saat terbangun suara
tahlil pengantar tidur yang biasa lelakiku bacakan saat malam menjelang, kini
berbalik disuarakan untuk mengantar tidurnya dalam ketenangan.
Kudekati jasadnya, kupandangi
lambat-lambat wajahnya, kuperhatikan sekujur tubuhnya, hingga lirihku berdoa, “Bangunlah Pah... Ayoooo bangun, jika kau
bangun akan ku peluk erat engkau tak kulepaskan, akan kubuat riuhan canda tawa
tak terhabiskan, akan kubuat bangga atas prestasiku bagimu tak terelakkan.
Bangunlah Pah... Kau sudah dirumah!!!”.
Air mataku menetes kembali
diikuti kejatuhan lunglai badanku. Lagi-lagi tubuh kurusku saat itu ditarik
menuju ruang tengah menjauhinya guna menenangkan dan menyadarkan psikisku dari
berita kelabu. Saat terbangun lagi, guru mengajiku menjelaskan lelakiku benarlah sudah pulang, namun
perlu keikhlasan dan kesabaran tak
terkira dalam diriku agar ia benar-benar bisa pulang dengan nyaman menuju rumah
sebenar-benarnya rumah bagi seorang hamba. Rumah yang kelak nantinya wajib kau
perindah melalu untaian doa, shalat sunah dan rangkaian amal jariyah. Rumah
yang nantinya bisa kau bikin mewah seinginmu dengan sejuta pahala.
Ketika kembali kudekati jasadnya
dengan tak lupa di kanan kiriku bahkan belakang badanku dijaga ketat oleh
kerabat saudaraku takut-takut aku kembali lagi terjatuh. Kala itu kukuatkan
hati, kutahan air mata, ku tegapkan kaki berpijak, dan kudekati bibirku mendarat
tepat di dahinya. Kukecup sekuat cinta
yang ada dalam dada, kurasakan dinggin yang tak biasa dari dahinya, dan kuucap
janji bahwa,
“Aku akan menjadi seperti
kau pinta Pah. Pulanglah dengan tenang ke singgasanaNya, pulanglah dengan damai
kembali ke sisiNya. Aku akan kuat dan aku akan berusaha selalu ikhlas karena
ini takdir terbaikNya. Pulanglah... Akan kuusahakan memewahkan rumah kita dlaam
SurgaNya kelak...”.
Allumaghfirlahu warhamhu wa’afi i
wa’fuanhu...
Dia lelakiku, satu-satunya
lelakiku saat itu dan hingga kini. Ketika 13 tahun sudah hanya bisa kupeluk
bingkai fotonya, kupandangi lekat wajahnya dalam pigura, dan kuusap-usap
nisannya.
Lelakiku yang tak pernah mengeluh meski terkadang kejamnya ibu kota
sungguh membuatnya lelah bahkan terlalu banyak dikeluarkan dari tubuhnya
keringat berpeluh-peluh
Lelaki yang tak pernah membiarkan
anak gadis kesayangannya takut, anak gadis kesayangannya jatuh bahkan diliputi
berbagai rasa cemas apapun bentuknya itu
Lelaki yang tak pernah bosan
menjawab setiap pertanyaan konyol yang terlontar tak udah-udah dari mulut kecilku
Lelaki yang tak pernah bosan
meminta hadiah peluk dan cium sepulangnya bekerja mencari dan mengumpulkan
kehidupan yang indah bagi belahan jiwanya dan juga buah hatinya
Lelaki yang bahkan tak pernah
kulihat marah meski berkali-kali ada saja ulah yang kubuat secara jelas dan
nyata di depan matanya
Lelaki yang tak pernah absen
melantunkan doa dan membacakan ayat suci penenang jiwa sebelum waktu tidurku
tiba
Dan lelaki dengan segala
kekurangan dan kelebihannya selalu membuat hidupku penuh warna bahkan sampai
detik ingin kuakhiri tulisan singkat ini tentangnya, tak sanggup mewakili
penggambaran secara nyata sepeti apa dirinya
Dia lelakiku saat ini, kemarin,
esok bahkan saat aku mati nanti
Dia lah Pak’e ku, sang lelaki yang
kuceritakan saat hari kelabu 13 tahun lalu
![]() |
Foto ini diambil 25 hari sebelum Pak'e pergi 12 hari sebelum Pak'e harus berjuang melawan Arterosklerosisnya Wisuda terakhir yang didatanginya |